Minggu, 23 Januari 2011

Larangan Berkata.. Seandainya…



Oleh
Ustadz Abu Haidar as Sundawi


Salah satu di antara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh lisan adalah mengatakan “seandainya” yang digunakan untuk menggugat taqdir atau syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian (rasa sial) dan penyesalan terhadap apa yang sudah terjadi. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا

… Mereka (orang-orang munafik) berkata: "Seandainya kita memiliki (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”… [Ali Imran : 154].

Ungkapan orang-orang munafik dalam firman Allah ini, adalah ungkapan “seandainya”, yang bermaksud untuk menggugat syari’at.

Asbabun nuzul ayat ini adalah, peristiwa yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Zubair pada waktu perang Uhud, dia berkata : Zubair mengatakan : “Aku melihat diriku bersama-sama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa ngantuk kepada kami. Tak ada seorangpun di antara kami, kecuali merasakan ketakutan ini pada hati mereka,” Zubair berkata lagi : “Lalu, demi Allah, aku mendengar ucapan Muattib bin Qusyair. Aku tidak mendengarnya, kecuali seperti mimpi. Muattib mengatakan,’Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini’.”

Aku menghafalkan ucapan ini, lalu Allah menurunkan ayat ”Mereka berkata ‘ seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini”. Lalu Allah menjawab :

قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمْ

Katakan (wahai Muhammad) : “Seandainya kalian berada di rumah-rumah kalian, maka pasti akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk menuju ke tempat kematian mereka”.

Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, sebagai ketetapan yang pasti dan tidak bisa dihindari.[1]

Perkataan mereka yang menyatakan “seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini …,” dan seterusnya, merupakan ungkapan yang bersifat gugatan terhadap syariat. Karenanya, mereka mencela Rasulullah n ketika beliau n menetapkan harus keluar dari Madinah untuk menyongsong musuh di bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin juga, ini termasuk gugatan terhadap taqdir. Maksud perkataan mereka “seandainya kami memiliki strategi dan pendapat yang bagus, maka kita tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh”. [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala pada ayat yang lain :

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka, dan mereka tidak ikut berperang : “Seandainya mereka megikutii kita, maka mereka tidak akan terbunuh”. [Ali Imran : 168].

Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, bahwa maksud perkataan mereka adalah, seandainya mereka (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya) mendengar pendapat kami agar tetap tinggal dan tidak keluar dari Madinah, maka mereka tidak akan terbunuh bersama orang-orang yang sudah gugur. Maka Allah menjawab :

قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Katakanlah olehmu : “Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian orang-orang yang benar”. [Ali Imran : 168].

Maksudnya, apabila dengan tetap tinggal di tempat bisa menyelamatkan seseorang dari kematian, maka pasti kalian tidak akan mati. Padahal, kematian pasti datang kepada kalian, sekalipun kalian berada di balik peti besi yang kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian, kalau kalian orang-orang yang benar.

Kata Mujahid, dari Jabir bin ‘Abdullah, ayat ini turun tentang ‘Abdullah bin Ubay dan dedengkotnya. Artinya, dialah yang menyatakan perkataan ini. [3]

Syaikhul Islam mengatakan ketika menerangkan tentang apa yang terjadi pada diri 'Abdullah bin Ubay, bahwa ketika ia menyendiri pada waktu perang Uhud, ia berkata : "Dia (Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil pendapat anak-anak?” Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka belum menjadi munafik sebelum itu. [4]

Perkataan ini diucapkan pada waktu perang Uhud, yaitu ketika 'Abdullah bin Ubay mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum Muslimin gugur sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafik mengritik ketetapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : "Seandainya mereka mengikuti kita dan kembali pulang sebagaimana kita, maka mereka tidak akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik daripada ketetapan Muhammad". Perkataan ini haram, bahkan bisa saja sampai kepada tingkat kekufuran [5]. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَّوْ كَانُوا عِندَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang kafir dan berkata kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di muka bumi atau mereka pergi berperang : "Seandainya mereka bersama-sama kami, maka mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh". [Ali Imran : 156]. Ini adalah bentuk gugatan terhadap taqdir.

Jadi, mengatakan "seandainya" dengan maksud untuk menggugat taqdir atau menggugat syariat adalah terlarang. Demikian juga mengatakan "seandainya" untuk mengungkapkan penyesalan dan kerugian tentang apa yang sudah terjadi, termasuk hal yang diharamkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

…Bila kamu ditimpa suatu musibah, maka janganlah kamu mengatakan "seandainya tadi aku melakukan ini dan ini, maka pasti akan terjadi begini-begini,” akan tetapi katakanlah : "Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan.” Karena perkataan "seandainya" bisa membuka amalan setan.[6]

Contohnya, apabila ada seseorang yang berminat membeli sesuatu yang dikiranya akan memperoleh keuntungan, tetapi ternyata rugi, lalu dia mengatakan : "Seandainya saya tidak membelinya, maka pasti saya tidak akan rugi”. Ini adalah ungkapan penyesalan dan keluhan yang banyak dilakukan manusia. Yang demikian ini terlarang.

Yang dimaksud musibah dalam hadits ini adalah, segala hal yang tidak diinginkan dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya tujuan dari usaha yang sedang dilakukannya. Siapapun yang cita-citanya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan, sehingga tidak memperoleh apa yang diinginkannya, maka dia tidak akan terlepas dari dua keadaan :

1. Dia akan mengatakan : "Seandainya tadi saya tidak melakukan ini, maka tidak akan terjadi begini", atau,
2. Dia akan mengatakan : "Seandainya saya tadi melakkukan ini, pasti akan terjadi begini".

Contoh yang pertama adalah perkataan : "Seandainya saya tidak bepergian, maka keuntungan tidak akan hilang".

Contoh yang kedua adalah perkataan : "Seandainya saya pergi, pasti saya akan untung".

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan contoh yang kedua dan bukan yang pertama, karena orang ini beramal dan dia mengatakan : “Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan perkerjaan yang saya lakukan ini, maka pasti akan tercapailah keinginan saya”. Ini berbeda dengan orang yang tidak melakukan, maka sikapnya akan pesimis.

Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan : “Ini adalah taqdir Allah, dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan,” maksudnya adalah, bahwa yang terjadi ini merupakan taqdir Allah dan bukan tanggung jawab saya. Adapun tanggung jawab saya, maka saya telah berusaha melakukan apa yang saya lihat bermanfaat, yaitu sebagaimana yang diperintahkan kepada saya. Dan ini adalah sikap taslim (pasrah) yang sempurna kepada ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena manusia, apabila telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan syariat, maka dia tidak boleh dicela dan urusannya diserahkan kepada Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan “amalan setan” dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut di atas adalah, apa yang dia bisikkan ke dalam hati manusia berupa penyesalan dan kesedihan, karena setan amat menyukai hal itu. Allah berfirman :

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari setan untuk membuat sedih orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun, kecuali dengan izin Allah. [al Mujadilah : 10].

Sehingga, dalam tidurpun setan senang memperlihatkan mimpi-mimpi menakutkan untuk mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Dalam keadaan seperti itu, manusia tidak akan bisa melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita shalat, jika konsentrasi pikiran kita terganggu. Di antaranya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada shalat dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan dua desakan". [7]

Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai Tuhannya, sehingga segala yang terjadi ia terima sebagai ketetapan Allah dan taqdirNya, maka hatinya akan tenang, dan lapanglah dadanya.[8]

Dilarangnya ucapan “seandainya”, karena di dalamnya tersirat ada penyesalan terhadap apa yang luput dari genggaman, dan menyiratkan celaan terhadap taqdir yang bisa memupus sikap sabar dan ridha. Padahal sabar adalah wajib, dan iman kepada taqdir adalah fardhu. Allah berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi atau yang menimpa diri-diri kalian kecuali sudah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. Agar kalian tidak putus asa dari apa yang tidak kalian dapatkan dan tidak bangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. [al Hadid : 22-23].

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengatakan : "Kedudukan sabar dalam iman adalah, seperti kedudukan kepala dalam jasad".[9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya manusia tidak diperintah untuk melihat kepada taqdir manakala (ia) diperintah untuk mengerjakan suatu amalan. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk menyadari taqdir ketika dia mengalami musibah yang tidak bisa dicegah. Oleh karenanya, apabila ditimpa musibah yang disebabkan perbuatan manusia atau bukan karena perbuatan mereka, maka bersabarlah menerima hal itu, dan relalah serta pasrahlah. Allah berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Tidak ada musibah yang menimpa kecuali terjadi atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan memberi petunjuk ke dalam hatinya. [at Taghabun : 11].

Oleh karena itu Adam mengatakan kepada Musa :


أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً
Apakah engkau akan mencelaku atas perkara yang telah ditaqdirkan Allah untukku 40 tahun sebelum aku diciptakan? [10]

Adam berhujjah kepada Musa karena Musa berkata kepadanya : “Mengapa engkau keluarkan kami dan dirimu dari Surga?”

Musa mencela Adam atas musibah yang dialami karena sebab perbuatannya, bukan karena dosanya. Adapun celaan itu karena sebab dosanya – seperti yang banyak diduga oleh sebagian orang – maka hadits itu tidak bermaksud demikian, karena Adam Alaihissallam telah bertobat dari dosanya dan orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tak berdosa, sehingga tidak boleh mencela orang yang sudah bertaubat berdasarkan kesepakatan ulama.[11]

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya ini termasuk beralasan dengan taqdir karena musibahnya, dan bukan karena dosanya. Sehingga Musa tidak berhujjah kepada Adam atas kemaksiatan yang menjadi penyebab keluarnya dari surga, tapi (Musa) berhujjah atas keluarnya itu sendiri. Maknanya adalah, perbuatanmu itu menjadi penyebab keluarnya kita dari Surga. Sebab Musa Alaihissallam sangat tidak mungkin mencela bapaknya yang telah bertaubat atas dosanya tersebut, dan telah dipilih serta telah diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla. Penjelasan ini sesuai dengan maksud hadits.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi penjelasan lain ketika menerangkan hadits ini, yaitu bahwa Adam berhujjah dengan taqdir setelah peristiwa itu berlalu dan setelah taubat dari perbuatannya. Tidak seperti orang-orang yang berhujjah atas kemaksiatan agar bisa terus-menerus melakukannya. Orang-orang musyrik berkata :

لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا

Seandainya Allah menghendaki, maka kami tidak akan berbuat musyrik dan juga bapak-bapak kami –al An’am ayat 148- maka Allah mendustakan perkataan tersebut, karena mereka tidak berhujjah atas sesuatu yang sudah terjadi, kemudian mereka mengatakan “kami bertaubat kepada Allah”, tetapi mereka berhujjah untuk tetap berada dalam kesyirikan. Sehingga mengatakan “seandainya” untuk beralasan dengan taqdir agar bisa tetap berbuat maksiat, maka perkataan seperti ini adalah batil. Demikian juga ucapan orang-orang musyrik

وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَٰنُ مَا عَبَدْنَاهُم

Seandainya Allah Yang Maha Rahman menghendaki maka kami tidak akan menyembah berhala -QS az Zukhruf ayat 20- maka perkataan ini adalah batil.

Hadits inipun menjelaskan, setan mempunyai pengaruh pada diri manusia berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya : “karena perkataan seandainya itu bisa membuka amalan setan”. Dalam hadits lain, Nabi n bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya setan menjalar pada diri manusia laksana aliran darah.[13]

Sebagian ulama mengatakan, hadits ini bermakna perasaan was-was yang ditiupkan setan ke dalam hati manusia, menjalar bagaikan aliran di pembuluh darah.

Zhahir teks hadits ini menunjukkan, setan itu sendirilah yang menjalar dalam tubuh manusia bagai aliran darah. Bagi Allah Azza wa Jalla yang memiliki kekuasaan, maka hal ini tidak mustahil, sebagaimana ruh, juga menjalar pada aliran darah, yaitu jasad. Apabila ruh itu dicabut, maka dia akan dikafani dan diberi balsem serta diangkat ke langit oleh malaikat.

PERKATAAN “SEANDAINYA” YANG DIPERBOLEHKAN
Tidak semua perkataan “seandainya” itu dilarang. Ada beberapa perkataan “seandainya” dalam konteks tertentu yang dibolehkan. Misalnya, mengatakan “seandainya” dalam mengungkapkan harapan. Hukum boleh atau tidaknya, tergantung jenis harapannya. Apabila harapannya baik, maka boleh. Sebaliknya, apabila harapannya jelek, maka hal itu terlarang.

Dalam suatu hadits shahih, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah empat orang, yang salah satu di antara mereka mengatakan :

“Seandainya aku mempunyai harta, maka pasti aku akan beramal seperti amalan si Fulan (yang beramal shalih dengan hartanya)”. Ini adalah harapan kebaikan.

Orang kedua mengatakan : “Seandainya aku memiliki harta, pasti aku akan beramal sebagaimana amalan si Fulan (yang beramal jelek dengan hartanya)”. Ini adalah harapan kejelekan.

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang orang yang pertama : “Dia memperoleh pahala berdasarkan niatnya, dan pahala keduanya sama”. Adapun tentang orang yang kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Dia mendapat dosa berdasarkan niatnya, dan dosa keduanya sama”.[14]

Boleh juga menggunakan kata “seandainya” sekedar untuk mengabarkan sesuatu. Contohnya, seseorang mengatakan “seandainya saya menghadiri pelajaran, maka pasti saya akan mengambil faidah dari pelajaran itu”. Di antara dalilnya adalah, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ مَعَ النَّاسِ حِينَ حَلُّوا

Seandainya aku tahu sebelum ihramku apa yang aku tahu sesudahnya, maka aku tidak akan membawa binatang kurban dan aku akan bertahallul bersama kalian.[15]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, seandainya beliau mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi di kalangan sahabat, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan membawa binatang qurban dan pasti akan bertahalul. Sebagian ulama mengatakan, bahwa ini termasuk angan-angan, seakan-akan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan “sayang sekali, seandainya aku mengetahui urusan yang sebelumnya tidak tahu, sehingga aku tidak membawa binatang qurban,” akan tetapi, yang nampak adalah, beliau mengabarkan tentang apa yang dilihatnya dari para sahabat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangan-angankan sesuatu yang berseberangan dengan taqdir Allah.[16]

Tentang perkataan “seandainya” yang dimaksudkan untuk mengabarkan, maka hal ini harus dirinci. Kalau kabar yang diberitakan itu benar sesuai dengan kenyataan, maka tidak mengapa. Tetapi, bila maksud perkataan ini bersandar kepada apa yang menjadi penyebab, maka dalam hal ini ada tiga keadaan :

1. Bila sebabnya samar yang tidak punya pengaruh apa-apa, seperti mengatakan “bila bukan karena Wali Fulan, maka tidak akan terjadi begini”. Perkataan seperti ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena dengan ucapannya ini, dia meyakini bahwa wali Fulan memiliki kemampuan untuk berbuat di alam ini, padahal ia sudah mati.

2. Disandarkan kepada sebab yang benar, ditetapkan berdasarkan syar’i atau empiris. Demikian ini hukumnya boleh, dengan syarat tidak meyakini bahwa sebab itulah yang berpengaruh langsung, dan tidak melupakan penyebab utamanya, yaitu Allah. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pamannya (Abu Thalib), beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya bukan karena aku, maka dia (Abu Thalib) pasti berada di kerak neraka”. [17]

Tidak diragukan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling jauh dari kesyirikan, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling bersih tauhidnya kepada Allah Azza wa Jalla, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyandarkan sesuatu kepada sebab, tetapi ini sesuai dengan syari’at secara hakiki, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diizinkan memberi syafa’at kepada pamannya untuk diringankan siksanya, sehingga di neraka nanti, pamannya mendapat siksaan yang paling ringan. Abu Thalid diberi dua sandal yang membuat otaknya mendidih.

3. Disandarkan kepada sebab yang nyata, akan tetapi tidak jelas keterkaitan sebabnya, baik secara empiris ataupun secara syar’i. Ini termasuk syirik kecil.

Contohnya, kalung yang dianggap jimat, dan dikatakan jika kalung dimaksud bisa mencegah pengaruh mata jahat (a’in) dan yang sejenisnya. Penetapan yang demikian, yaitu adanya sebab yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai sebab bagi hal tersebut, maka dia menganggap serikat bagi Allah dalam menetapkan sebab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Fathul Majid, 551-552.
[2]. Al Qaulul Mufid (2/364).
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (2/139).
[4]. Majmu Fatawa (7/280).
[5]. Al Qaulul Mufid (2/361).
[6]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab az Zuhud, Bab Serorang mukmin semua urusannya baik (4/2295), dari Shuhaib bin Sinan z .
[7]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al Masajid (1/393).
[8]. Al Qaulul Mufid (2/370-372).
[9]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Iman, nomor 130, dan Al Lalikai dalam Syarah Ushulil I’tiqad, no. 1569.
[10]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Sahih-nya, no 3409,5705,5752,6472,5715; Muslim dalam Shahih-nya, no. 2652, dari Abu Harairah Radhiyallahu 'anhu.
[11]. Fathul Majid, 556.
[12]. Al Qaulul Mufid (2/374-375).
[13]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab I’tikaf, Bab seorang isteri mengunjungi suaminya ketika i’tikaf (2/68); Muslim dalam kitab Salam (4/1712) dari Shafiyah binti Hayyi Radhiyallahu 'anha.
[14]. Dikeluarkan oleh Ahmad (3/230-231); Tirmidzi dalam kitab az Zuhud, Bab Niat (2/1413), dari Abu Kabsyah ‘Amr bin Sa’d al Anmari Radhiyallahu 'anhu.
[15]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Haji, Bab orang yang haid harus mengqadha seluruh manasik kecuali thawaf (1/506); Muslim, Kitab Haji, Bab penjelasan cara-cara ihram (2/885), dari Jabir Radhiyallahu 'anhu.
[16]. Al Qaulul Mufid (2/362-363).
[17]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Manaqib Anshar, Bab kisah Abu Thalib (3/62); Muslim dalam Kitab Iman, Bab Syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Thalib (1/194) dari ‘Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu 'anhu.

Sumber:http://almanhaj.or.id/

Sabtu, 22 Januari 2011

Mengenal Salaf



Written by Cyber Muslim Salafy
Istilah salaf lahir ketika terjadi perselisihan diantara firqah-fiqah kalamiyah mengenai masalah-masalah ushuludin. Semuanya mencoba menamakan dirinya sesuai as-salafush-shalih. Karena itu wajar bila kemudian lahir kaidah-kaidah yang jelas bagi golongan salaf sehingga mereka dapat dibedakan dengan firqah-firqah lainnya yang mngaku salaf.


Dikatakan, lahirnya Istilah salaf (bukan lahirnya salaf), sebab As-Salaf mengandung pengertian orang-orang terdahulu. Adapun orang yang paling terdahulu terdahulu bagi umat Muhammad shallallahu`alaihi wa sallam ialah para shahabat radliyallahu`anhum disusul kemudian oleh tabi`un dan atba`ut-tabi`in [1]

Dengan demikian madzab salaf berarti madzab para shahabat radliyallahu`anhum serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Jadi, As-Salaf sebenarnya bukan merupakan madzab baru. Ia telah ada semenjak zaman Rasullullah shallallahu`alaihi wa sallam. Hanya istilah dan penamaannya saja yang baru muncul dan menjadi tekenal di kemudian hari. Sebagaimana halnya Ahlus-Sunnah [2], ia juga merupakan madzab para shahabat radliyallahu`anhum. Tetapi, istilah Ahlus sunnah baru terkenal setelah berkembangnya fitnah dalam masalah ushuluddin. Dan hakikatnya, istilah salaf merupakan istilah lain dari Ahlus-Sunnah, Ahlul-Hadits serta Ahlul jama`ah [3].

TA`RIF SALAF

Menurut bahasa: Syaikh Muhammad Abdul Hadi Al-Misri- yang menukil dari lisanul Arab menyebutkan [4] bahwa, As-Salaf ialah orang-orang yang telah terdahulu dari kalangan bapak moyang anda, termasuk pula seluruh kerabat anda yang umur maupun kedudukannya lebih tinggi daripada anda. Sedangkan dalam Mukhtarus-Shahih disebutkan pula bahwa, Salaf nya seseorang berarti para nenek moyang yang terdahulu [5].

MENURUT ISTILAH

Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah sebenarnya As-Salafush Shalih itu. Berkenaan dengan ini, Syaikh Abdul Almisri mengangkat beberapa perbedaan pendapat ulama tersebut, diantaranya: [6]

Al qolsyani berpendapat: As-Salafus Shalih adalah generasi pertama, yaitu generasi yang ilmu-ilmunya benar-benar meyakinkan. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menjadikan petunjuk nabi Shalallahu `alaihi wa sallam, sebagai petunjuknya. Merekalah pemelihara sunnah nabawiyah. Mereka adalah orang-orang yang dipilih Allah Ta`ala khusus untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, menjadi penegak diinullah dan telah diridhoi sebagai para imam para umat. Mereka pun telah mencurahkan segenap jiwa raga dalam rangka mencari mardhotillah. Allah Ta`ala telah benar-benar memberikan pujian kepada mereka didalam kitab-Nya.Oleh karena itu, wajib mengikuti ilmu yang telah disampaikan oleh mereka dan wajib pula mengikuti jejak-jejak tindakan mereka serta memohonkan ampun baginya.
Al-Adawi, dalm Al-Hisyiyah membatasi pengertian saaf hanya pada para sahabat, berdasar apa yang telah dikatakan oleh ibnu Naji: As-Salafush-Shalih ialahsifat lazim (mesti) hanya bagi para sahabat dan tidak seorangpun selain mereka yang dapat disifati sebagai as-salaf.
Semantara Al-Bajuri berpendapat lain beliau mengatakan, Yang dimaksud orang salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari kalangan para nabi, sahabat, tabi`in, dan atba`ut-tabi`in terutama empat imam mujtahid.
Syaikh Mahmud Khafaji mengatakan, bahwa tidaklah cukup hanya dengan memberi batasan waktu semata dalam mendefinisikan para salaf.
Akan tetapi, mestilah ada prinsip lain, yaitu kesesuaiaan dengan alkitab was-Sunnah. Oleh karena itu barangsiapa, yang ra`yunya bertentangan dengan al-kitab Was-Sunnah berarti dia bukanlah seorang salafi. Walaupun hidup ditengah-tengah para sahabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in.
Menurut kesimpulan Syaikh Ibnu Hajar Al-Qathari: Berdasarkan kenyataan ini,maka yang disebut dengan madzab salaf ialah apa yang ditempuh oleh para sahabat radliyallahu `anhum, para tabi`in yang mengikuti mereka dengan ihsan hingga hari pembalasan, at ba`ut- tabi`in, serta para imam yang telah terbukti keimamahannya dan telah dikenal kedudukan agungnya dalam ad diin serta orang-orang pun telah sepakat (bisa) menganbil perkataannya. Seperti imam yang empat, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laist bin sa`d, Abdullah bin Al mubarak, Ibrahim An-Nakha`i, Al-Bukhari, Muslim dan semua pemilik kitab As-Sunnan, selain para ahlul bid`ah, atau orang-orang yang dikenal dengan julukan yang tidak baik, seperti Khawarij, Rafidhah, Murji`ah, Jabariyah, Jahmiyah, dan mu`tazilah

Dari beberapa pernyataan ulama diatas, akhirnya Syaikh Muhammad Abdul hadi al misri menyimpulkan bahwa as-salaf adalah istilah yang digunakan untuk menyebut para imam terdahulu dari kalangan tiga generasi pertama yang diberkahi, terdiri dari para sahabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in sebagaimana tersebut dalam hadist riwayat Al-Bukhari, yang artinya:

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian sesudah lagi. Sesudah itu datang orang-orang kesaksian salah seorang diantara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.

Dengan demikian, setiap iltizam kepada aqidah pemahaman, serta landasan para imam tersebut, berarti ia di nisbatkan sebagai pengikut mereka (salaf), walaupun tempat serta masanya saling berjauhan. Sebaliknya, siapa yang tidak sejalan dengan mereka, maka ia tidak termasuk golongan mereka sekalipun hidup bersama-sama di satu tempat atau satu masa.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian salaf atu ulama salaf ialah para sahabat radliallahu`anhum, atau para sahabat dan tabi`in, atau sahabat tabi`un dan atba`ut-tabi`in atau siapa saja yang ittiba` kepada manhaj mereka. Minimalnya, setiap orang yang ittiba` kepada para manhaj sahabat, tabi`in atau atba`ut tabi`in disebut sebagai pengikut salaf atau salafi.

Wallahu A`lam

Ibnu `Asif

[1] Qwa`id Al-Manhaj As-Salafi wa An-Nasqil Islami fi Masa`il Al-Uluhiyah wa-Al`alam wa Al-Insan `inda SyaikhilIslam Ibnu Taymiyah , Dr. Mustafa Hilmi, Dar Al-Anshar-Cairo, cet. 1 1396H, hal.35.

[2] Perhatikan Ahlus-sunnah wal Jama`Allah Ma`alim Al-Inthilaqatil Kubra, Muh, Abdul hadi Al-Misri, Dar Thayyibabh-Ruyadh, Cet, IV, 1409H, Hal 37.

[3] Perhatikan,ibid, hal, 43-51.

[4] Ibid, hal51.

[5] Mukhtarush-Shihah; ImamAr-Razi, Dar Al-Kitab Al-`Arabi- Beirut, Cet, I 1967 M hal 309

[6] Muh. Abdul Hadi Al misri; Ahlus Shunnah Al-Ma`alim, hal 51.52

Sumber:http://www.salafyoon.net/

Wanita Berpakaian Tapi Telanjang


penulis:Abdurahmantoyib Fastabiqul Khairat
Wanita Berpakaian Tapi Telanjang

Inilah yang kami sedihkan pada kaum wanita saat ini. Zaman sudah semakin rusak. Perzinaan di mana-mana. Pornografi yang sudah semakin marak. Bahkan hal-hal porno semacam ini bukan hanya digandrungi oleh orang dewasa, namun juga anak-anak. Bahkan terakhir ini yang sudah membuat kami semakin geram, tidak sadar-sadarnya wanita dalam berpakaian. Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini.

Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.
Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
(HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.
Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.
Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.
Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.
Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.< br />
Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan,

“Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)

Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun,

“Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

* Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.
* Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.
* Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.
Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”

Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:

Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu
kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis?
Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain?
Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi?
Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi?
Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya!

Sumber: Dakwah Salaf

Bolehkah Memiliki Pembantu Rumah Tangga?





Ustadz Musyaffa Ad Dariny, Lc. menjawab tentang pertanyaan seseorang yang berhubungan dengan pembantu rumah tangga.

Ada dua pendapat yang sekilas berbeda dalam masalah ini:


(1) Tidak membolehkan sama sekali, ini adalah pendapat mayoritas ulama madzhab (yakni: Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah)

Imam Abu Hanifah mengatakan: “Aku benci (yakni mengharamkan) pria menyewa wanita merdeka, untuk dijadikan sebagai pembantu dan bisa menyendiri dengannya. Begitu pula jika yang disewa adalah wanita hamba sahaya”. Ini (juga) pendapatnya Abu Yusuf dan Muhammad. Alasan larangan menyendiri dengannya, karena menyendiri dengan wanita yang bukan mahrom adalah maksiat. Sedang alasan larangan menjadikannya pelayan, karena tidak akan selamat dari melihatnya dan terjatuh dalam kemaksiatan. (Bada’i'us Shana’i’, 4/189)

Aku pernah mendengar Imam Malik ditanya tentang wanita yang mengambil pria (sebagai kusir) sekedupnya, padahal tidak ada mahrom diantara mereka, maka beliau membenci (mengharamkan)-nya. Karena itu, pria yang mengambil wanita sebagai pembantu padahal tidak ada mahram diantara mereka, sedang si pria tidak punya istri, dan dia bisa menyendiri dengannya, itu lebih haram bagiku. (Al-Mudawwanah, 3/443)



Jika pria yang bukan mahram mengambil budak wanita sebagai pembantunya, maka ada dua pendapat (dalam madzhab syafi’i), dan yang layak dijadikan sebagai pendapat yang paling shahih adalah pendapat yang mengharamkannya, karena pada umumnya tidak mungkin lepas dari melihatnya (padahal melihatnya itu haram hukumnya). (Hasyiah Qalyubi dan Umairah, 3/72)

(2) Membolehkan dengan syarat selamat dari hal yang dilarang syariat. Ini pendapatnya Madzhab Hambali.



Imam Ahmad Rahimahullah mengatakan: “Pria yang bukan mahram boleh mengambil wanita -baik budak atau merdeka- untuk dijadikan sebagai pembantu, tapi ia harus memalingkan wajahnya dan tidak melihatnya, jika pembantunya itu wanita yang merdeka. Pembantu wanita yang budak tidak seperti yang merdeka.

Karena itu, Pria yang menjadikannya pembantu tidak boleh melihat bagian tubuh manapun dari wanita yang merdeka. Berbeda jika pembantunya itu wanita dari budak, maka ia boleh melihatnya pada bagian tubuhnya yang enam, atau bagian tubuh yang tidak menjadi auratnya ketika shalat, sebagaimana akan diterangkan pada bab nikah.

Intinya, Pria yang menjadikannya pembantu tidak boleh melihat keduanya, sebagaimana pria lain (yang bukan mahram). Karenanya ia tidak boleh menyendiri dengan kedua jenis pembantu ini dalam satu rumah, ia tidak boleh melihatnya terbuka, dan tidak boleh melihat rambutnya yang masih sambung, karena itu termasuk auratnya, berbeda jika pembantu wanitanya itu dari budak” (Mathalibu Ulin Nuha, 3/615, dan Kasysyaful Qona’, 3/548)

Dua pendapat ini, sebenarnya tidak bertentangan, karena ulama yang membolehkannya, melihat hukum asal akad tersebut, sedang ulama yang mengharamkannya, melihat hukum akhirnya setelah dipengaruhi situasi dan kondisi. Mereka semua sepakat bahwa hukum asal akad sewa tersebut dibolehkan, dan mereka juga sepakat jika akad sewa tersebut mengandung hal yang melanggar syariat maka dilarang. Wallahu a’lam.

Kesimpulannya, diharamkan mengambil pembantu, kecuali dalam dua keadaan:

(a) Jika keadaannya darurat atau sangat membutuhkan sekali.

(b) Jika bisa selamat dari hal-hal yang dilarang oleh syariat, seperti melihatnya, berduaan dengannya, atau bercampurnya pria dan wanita yang bukan mahram, dll.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin mengatakan:

Pertama: Hendaklah kita tidak mendatangkan pembantu -wanita atau pria- kecuali jika keadaannya mendesak atau darurat, karena kedatangan pembantu itu akan menghabiskan banyak biaya yang sebenarnya tidak diperlukan dan bukan darurat, padahal Nabi -shallallohu’alaihi wasallam- telah melarang umatnya menyia-nyiakan harta.

Kedua: Sebagian mereka kurang amanah dalam menjalankan tugas yang kita percayakan kepadanya. Oleh karena itu, tidak seyogyanya mendatangkan pembantu -pria atau wanita- kecuali dengan beberapa syarat:

Untuk pembantu wanita: (Jika rumahnya jauh) Harus ada mahramnya. Jika tidak ada, maka tidak boleh mendatangkannya, karena sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-: “Wanita tidak boleh safar kecuali dengan mahramnya”… Tidak ditakutkan menimbulkan fitnah (bahaya syahwat). Jika takut menimbulkan fitnah, baik terhadap dirinya maupun anak-anaknya, maka ia tidak boleh melakukannya. Harus selalu menjalankan kewajibannya menutup wajahnya. Tidak boleh menyendiri dengannya. Jika tak ada orang lain di rumahnya, maka ia tidak boleh mendatangkan pembantunya sama sekali, begitu pula, jika ada orang lain di rumahnya tapi mereka biasa pergi dari rumah dan ia tinggal sendiri di rumahnya bersama pembantu ini, maka ini juga tidak boleh, karena sabda Nabi –shallallahu’alaihi wasallam-: “Pria tidak boleh berduaan dengan wanita kecuali dengan mahramnya”. (Liqa’ul Babil Maftuh, no soal: 619)

Syeikh Abdullah Al-Faqih mengatakan: “Menyebarnya tren mendatangkan pembantu rumah tangga ini, banyak menyebabkan kerusakan, dan kenyataan adalah saksi paling baik untuknya, diantara kerusakan itu adalah:

Pertama: Dan ini yang paling bahaya, mendholimi putra dan putrinya ketika mereka dirumahnya, yaitu dengan menyerahkan pendidikan mereka kepada para pembantu wanita, sehingga anak kehilangan ikatan rasa dengan ortunya, padahal ikatan rasa itulah unsur utama dalam mendidik dan mengarahkan jiwa anak.

Kedua: Adanya pembantu wanita dalam rumah, merupakan penyebab utama yang mendorong para ibu keluar rumah, baik untuk kerja, atau belanja, atau pergi ke rumah orang lain. Dan ini jelas bertentangan dengan maksud dan tujuan Syariat Islam agar wanita menetap di rumahnya, Allah berfirman (yang artinya): “Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian!” (Al-Ahzab:33)

Ketiga: Menjadikan wanita (yakni istri dan putri majikan) merasa jenuh dan malas, dan ini merupakan penyebab utama terjangkitnya banyak penyakit pada wanita.

Keempat: Membiarkan pembantu wanita di dalam rumah bersama anak-anak usia puber, termasuk diantara penyebab jatuhnya mereka dalam perbuatan keji (zina)” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no fatwa: 18210).

Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan, sebaiknya kita tidak mengambil pembantu, karena banyaknya mafsadah yang ditimbulkan, dan sulitnya memenuhi syarat dari ulama yang membolehkannya. Kecuali bila keadaannya darurat atau sangat mendesak sekali. Wallahu a’lam.



Sumber:http://ustadzkholid.com

Butuhnya Manusia Akan Ilmu



“Manusia sangat membutuhkan ilmu dari sekedar menyantap makanan dan minuman, karena makanan dan minuman dibutuhkan oleh manusia sekali atau dua kali dalam sehari. Sedangkan ilmu dibutuhkan setiap saat.” (Thabaqat Al-Hanabilah 1/147)

Sabtu, 15 Januari 2011

Hukum Seorang Wanita Menambahkan Nama Suaminya di Belakang Namanya

Setelah menikah, terkadang seorang wanita mengganti namanya belakangnya atau nama keluarganya dengan nama suaminya. Hal ini juga banyak dilakukan di negara-negara barat, seperti istrinya Bill Clinton: Hillary Clinton yang nama aslinya Hillary Diane Rodham; istrinya Barrack Obama: Michelle Obama yang nama aslinya Michelle LaVaughn Robinson, dan lain-lain.

Lalu bagaimanakah pendapat para ulama tentang masalah ini?

Fatwa Lajnah Da’imah:

Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ juz 20 halaman 379.

Pertanyaan :

Telah umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan berhati-hati dengannya?

Jawab :

Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]

Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Wakil : Abdul Aziz Alu Syaikh

Anggota :

Abdulloh bin ghudayyan

Sholih al-Fauzan

Bakr Abu Zaid فتاوى اللجنة الدائمةالسؤال الثالث من الفتوى رقم ( 18147 ) س3: قد شاع في بعض البلدان نسبة المرأة المسلمة بعد الزواج إلى اسم زوجها أو لقبه، فمثلا تزوجت زينب زيدا، فهل يجوز لها أن تكتب: (زينب زيد)، أم هي من الحضارة الغربية التي يجب اجتنابها والحذر منها؟ ج3: لا يجوز نسبة الإنسان إلى غير أبيه، قال تعالى: { ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ } (1) وقد جاء الوعيد الشديد على من انتسب إلى غير أبيه. وعلى هذا فلا يجوز نسبة المرأة إلى زوجها كما جرت العادة عند الكفار، ومن تشبه بهم من المسلمين وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم. اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء عضو … عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس بكر أبو زيد … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز آل الشيخ … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

***



Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan hafidzohulloh

Pertanyaan :

Apakah boleh seorang wanita setelah menikah melepaskan nama keluarganya dan mengambil nama suaminya sebagaimana orang barat?

Jawab :

Hal itu tidak diperbolehkan, bernasab kepada selain ayahnya tidak boleh, haram dalam islam.

Haram dalam islam seorang muslim bernasab kepada selain ayahnya baik laki-laki atau wanita. Dan baginya ancaman yang keras dan laknat bagi yang melakukannya yaitu yang bernasab kepada selain ayahnya hal itu tidak boleh selamanya.

Dari kaset Syarh Mandhumatul Adab Syaikh al-Fauzan Hafidhohulloh السؤالهل يجوز للمرأة بعد الزواج ان تتنازل عن اسمها العائلي وتاخذ اسم زوجها كما هو الحال في الغرب؟الجواب

هذا لا يجوز الانتساب الى غير الاب لا يجوز حرام في الاسلام حرام في الاسلام ان المسلم ينتسب الى غير ابيه سواءا كان رجلا ام امرأة وهذا عليه وعيد شديد وملعون من فعله الذي ينتسب الى غير مواليه او ينتسب الى غير ابيه هذا لا يجوز ابدا

من شريط شرح منظومة الآداب للشيخ الفوزان حفظه الله

***

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus hafidzohulloh

Pertanyaan :

Apakah wajib secara syar’i bagi seorang wanita menyertakan nama suaminya atau sebisa mungkin tetap menggunakan nama aslinya?

Jawab :

:الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله الله رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد

Tidak boleh dari segi nasab seseorang bernasab kepada selain nasabnya yang asli atau mengaku keturunan dari yang bukan ayahnya sendiri. Sungguh islam telah mengharamkan seorang ayah mengingkari nasab anaknya tanpa sebab yang benar secara ijma’.

Alloh berfirman :

ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Dan sabda nabi shollallohu alaihi wa sallam :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً

“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Alloh, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Alloh tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”

Dikeluarkan oleh Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah bab Ma ja’a fiman tawalla ghoiro mawalihi (2127), Ahmad (616) dari hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu.

Dan dalam riwayat yang lain :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”

Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if (3982), Muslim dalam “al-Iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab” (bab Bab Seseorang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya (5113) dan Ibnu Majah dalam (al-Hudud) bab : Bab orang yang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya atau berwali kepada selain walinya (2610) dan Ibnu Hibban (415) dan Darimi (2453) dan Ahmad (1500) dan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh dan Abu Bakroh rodhiyallohu anhuma.

Maka tidak boleh dikatakan : Fulanah bintu Fulan sedangkan ia bukan anaknya, tetapi boleh dikatakan : Fulanah zaujatu Fulan (Fulanah istrinya si Fulan) atau tanggungannya si Fulan atau wakilnya Fulan. Dan jika tidak disebutkan idhofah-idhofah ini -dan hal ini sudah diketahui & biasa- maka sesungguhnya apa-apa yang berlaku dalam adat, itulah yang dipertimbangkan dalam syari’at-.

والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا

Makkah, 4 Syawwal 1427 H

Bertepatan dengan 16 Oktober 2006 M

*** السؤال: هل الواجبُ على المرأةِ حملُ لقبِ زوجِها شرعًا أم بإمكانها البقاء على لقبها الأصليِّ ؟الجوابالحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله الله رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد: فلا يجوزُ من حيث النسبُ أن يُنْسَبَ المرءُ إلى غير نسبه الأصلي أو يُدَّعَى إلى غير أبيه، فقد حَرَّم الإسلام على الأب أن يُنْكِرَ نَسَبَ ولدِه بغير حقٍّ إجماعًا، لقوله تعالى: ﴿ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا﴾ [الأحزاب: 5]، ولقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً»(١- أخرجه مسلم في «الحج» (3327)، والترمذي في «الولاء والهبة» باب: باب ما جاء فيمن تولى غير مواليه (2127)، وأحمد (616)، من حديث علي بن أبي طالب رضي الله عنه، وفي رواية أخرى: «مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ»(٢- أخرجه البخاري في «المغازي» باب: غزوة الطائف (3982)، ومسلم في «الإيمان» (220)، وأبو داود في «الأدب» باب: باب في الرجل ينتمي إلى غير مواليه (5113)، وابن ماجه في «الحدود» باب: باب من ادعى إلى غير أبيه أو تولى غير مواليه (2610)، وابن حبان (415)، والدارمي (2453)، وأحمد (1500)، من حديث سعد بن أبي وقاص وأبي بكرة رضي الله عنهما)

، فإذا كان لا يجوز أن يقال: فلانة بنت فلان وهي ليست ابنته، ولكن يجوز أن يقال: فلانة زوجة فلان أو مكفولة فلان أو وكيلة عن فلان، فإذا لم تذكر هذه الإضافات -وكانت معروفة معهودة- «فإنّ ما يجري بالعرف يجري بالشرع». والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا.

مكة في: 4 شـوال 1427ﻫ

الموافق ﻟ: 26 أكتوبر 2006م

***

Lalu, Bagaimana yang disyariatkan?

Yang disunnahkan adalah menggunakan nama kunyah (baca: kun-yah), sebagaimana telah tsabit dalam banyak hadits, dan ini jelas lebih utama daripada menggunakan laqob/julukan-julukan yang berasal dari adat barat ataupun ‘ajam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh al-Albani rohimahulloh dalam Silsilah al-Ahaadits ash-Shohihah no. 132 :

Rosululloh shollallohu alahi wa sallam bersabda :

اكْتَنِي [بابنك عبدالله – يعني : ابن الزبير] أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللَّهِ

“Berkun-yahlah [dengan anakmu –yakni: Ibnu Zubair] kamu adalah Ummu Abdillah” [Lihat ash-Shohihah no. 132]

Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad : haddatsana Abdurrozzaq (bin Hammam, pent), haddatsana Ma’mar (bin Rosyid, pent) dari Hisyam (bin ‘Urwah, pent), dari bapaknya (Urwah bin Zubair, pent) : bahwa ‘Aisyah berkata kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فذكره بدون الزيادة

“Wahai Rasulullah, semua istrimu selain aku memiliki kun-yah”, lalu Rasulullah shollallohu alaihi wa sallam bersabda kepadanya : (lalu beliau menyebutkan hadits ini tanpa tambahan).

Berkata (Urwah, pent) : Ketika itu ‘Aisyah disebut sebagai Ummu Abdillah sampai ia meninggal dan ia tidak pernah melahirkan sama sekali.

Berdasarkan hadits ini, disyariatkan berkun-yah walaupun seseorang tidak memiliki anak, ini merupakan adab Islami yang tidak ada bandingannya pada ummat lainnya sejauh yang aku ketahui. Maka sepatutnya bagi kaum muslimin untuk berpegang teguh padanya, baik laki-laki maupun wanita, dan meninggalkan apa yang masuk sedkit demi sedikit kepada mereka dari adat-adat kaum ‘Ajam seperti al-Biik (البيك), al-Afnadi (الأفندي), al-Basya (الباشا), dan yang semisal itu seperti al-Misyu (المسيو), as-Sayyid (السيد), as-Sayyidah (السيدة), dan al-Anisah (الآنسة), ketika semua itu masuk ke dalam Islam. Dan para fuqoha’ al-Hanafiyyah telah menegaskan tentang dibencinya al-Afnadi (الأفندي) karena di dalamnya terdapat tazkiyah, sebagaimana dalam kitab ‘Hasyiyah Ibnu Abidin’. Dan Sayyid hanya saja dimutlaqkan atas orang yang memiliki kepemimpinan atau jabatan, dan pada masalah ini terdapat hadits (قوموا إلى سيدكم) “Berdirilah kepada (tolonglah, pent) sayyid kalian”, dan telah berlalu pada nomor 66 (dalam ash-Shohihah, pent) dan tidak dimutlakkan atas semua orang karena ini juga masuk pada bentuk tazkiyah.

Faidah : adapun hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah rodhiyallohu anha bahwa bahwa ia mengalami keguguran dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam, lalu ia menamainya (janin yang gugur tersebut, pent) Abdulloh, dan ia berkun-yah dengannya, maka hadits tersebut bathil secara sanad dan matan. Dan keterangannya ada pada adh-Dho’ifah jilid ke-9. -Selesai perkataan syaikh al-Albani rohimahulloh-

Maroji‘:

alifta.net – Fatwa Lajnah Da’imah

Sahab.net – Fatwa Syaikh Sholeh Fauzan

Ferkous.com – Fatwa Syaikh Farkus

Tholib.wordpress.com – Perkataan Syaikh al-Albani
Telah di publikasikan oleh:Frida Ummu Ukasyah di fb.

Jumat, 14 Januari 2011

Hukum Cadar: Kesimpulan Antara 2 Pendapat Ulama (5)

Pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.

Kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihin wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
Ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.
Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.
Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab.
Baca Artikel Sebelumnya:
Dalil yang mensunnahkan cadar adalah sebagai berikut:
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-tidak-mewajibkan-3.html
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-tidak-mewajibkan-4.html
Sedangkan dalil-dalil yang mewajibkan cadar adalah sebagai berikut:
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-mewajibkan-1.html
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-mewajibkan-2.html
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
Dipublikasikan kembali oleh www.muslimah.or.id

Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (4)

Ketujuh, Sahl bin Sa’d berkata,
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…
“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya……” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi (pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” (Fathul Bari IX/210).
Kedelapan, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
وَمَا يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ
“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66)
Dari perkataan ‘Aisyah, “Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.” dapat dipahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Kesembilan, ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,
أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …
“Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Karena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66-67).
Kesepuluh, Abdurrahman bin ‘Abis,
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ
“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah Anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam Kitab Jum’ah)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas -di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah: 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 67, 75).
Kesebelas, dari Subai’ah binti Al-Harits,
أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ
Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” (HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69).
Keduabelas, Atha bin Abi Rabah berkata,
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”. Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”. Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan surga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Ketiga belas, Ibnu Abbas berkata,
كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )
Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat),
وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripadamu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian (daripadamu).” (QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 70).
Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Keempat belas, Ibnu Mas’ud berkata,
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu membuat beliau terpesona, kemudian beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapa pun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu membuatnya terpesona, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita itu.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no. 235)
Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Kelima belas, Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” (HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72)
Keenam belas, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiah yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah (hal. 96-103). Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.
Ketujuh belas, anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan di antara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Di antara ulama besar mazhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.” (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 7-9).
Kedelapan belas (tambahan), dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup. Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat jilbab. Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapusnya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
Dipublikasikan kembali oleh www.muslimah.or.id

Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (3)

Pada edisi yang lalu telah kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita. Sekarang -insya Allah- akan disampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkannya.
Dalil-Dalil yang Tidak Mewajibkan
Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nuur: 31)
Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam).
Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60). Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.
Kedua, firman Allah,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” (Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 73).
Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73).
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)
Jarir bin Abdullah berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)
Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).
Keempat, Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata,
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”)
Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 58).
(1) Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” (Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam).
(2) Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”
Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if.” Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
(3) Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
Kelima, Jabir bin Abdillah berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya)
Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam).
Keenam, Ibnu Abbas berkata,
أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan (menggoda) keduanya” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”)
Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” (Fathu Al-Bari XI/8)
Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syaikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. (Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar). Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunah). Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 61-64).
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
Dipublikasikan kembali oleh www.muslimah.or.id

Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (2)

Kesebelas, Ummu ‘Athiyah berkata:
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keduabelas, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keenam belas, ‘Aisyah berkata:
كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan belas, ‘Aisyah berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”
Kedua puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي
“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” (HR. Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh tiga, Aisyah berkata:
خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ
“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim)
Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).
Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:
  1. Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
  2. Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
  3. Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Ringkasan Dalil-Dalil di Atas
Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa point:
  1. Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
  2. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
  3. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
  4. Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
  5. Ijma yang mereka nukilkan.
  6. Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.
  7. Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.
Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar
Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
Dipublikasikan kembali oleh www.muslimah.or.id
Menu Hari Ini Slideshow: Ummu’s trip from Jakarta, Jawa, Indonesia to Doha, Qatar was created by TripAdvisor. See another Doha slideshow. Create your own stunning free slideshow from your travel photos.